Menguak Logika Kekerasan Sentimen Agama

Logika Kekerasan

Kita tentu miris dengan rentetan kekerasan dan teror masif atas nama sentimen agama yang terjadi. Kita tidak tahu akan terjadi dimana lagi kekerasan mengingat para penegak hukum yang sebenarnya dalam deteksi dininya sudah mengetahui, toh tidak bertindak secara cekatan alias mandul dan di sisi lain gerakan terselubung kekerasan atas nama agama itu terus bergerak.

Kalau kita menyimak rentetan realitas kekerasan semacam ini secara fenomenologis, kita akan menemukan sebuah fenomena yang mengejutkan. Rentetan kekerasan menampakkan satu gejala yang tak terbantahkan bahwa dewasa ini ada kecenderungan gerakan terselubung dari sekolompok orang yang memporak-porandakan logika berpikir orang pada umumnya dengan ideologi frontal, sempit, dan picik dengan kendaraan dan kerudung agama.

Agama menjadi pilihan kendaraan karena menawarkan klaim kebenaran secara absolut dan  ketaatan buta. Mentaatkan diri dalam gerakan masif yang buta menjadi sarana mulia untuk tujuan kebenaran ilusif. Padahal, kebenaran itu relatif.

Seorang pemikir asal Jerman menangkap fenomena semacam ini sudah sejak tahun-tahun yang lalu. Die Möglichkeit, zu glaube, ist heute in zahllosen Menschen verbogen – Kemungkinan untuk beriman pada masa sekarang ini kian terselubung bagi banyak orang, demikian tegas fulsuf Jerman Karl Jaspers dalam bukunya yang berjudul Der philosophische Glaube (1948) dan dipertegas lagi dalam bukunya Der philosophische Glaube angesichts der Offenbarung (1962).

Beriman itu menjadi tanggungjawab pribadi. Oleh sebab itu, Jaspers menggagas perlunya sebuah dasar dari keberimanan bagi setiap individu. Dasar keberimanan itu adalah kejernihan cara berpikir (die Klarheit der Denkungsart).

Kebenaran Ilahi tentu cenderung menuntut sebuah ketaatan tanpa tanda tanya dan tanpa syarat karena selalu disemayamkan sebagai yang transenden. Artinya,  kebenaran Ilahi mengatasi nalar manusia. Akan tetapi, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan karena memiliki akal budi.

Manusia harus selalu berpikir dan bernalar untuk mencari, mempertanyakan, dan mengecek pemahamannya sendiri apakah keberimanan atau kepercayaannya itu betul. Manusia memang harus gelisah dan terus-menerus menanamkan tanda tanya pada dirinya sendiri, benarkah yang dipegang dan dianutnya.

Kegelisahan menandakan eksistensi manusia. Kegelisahan itu menandakan bahwa manusia itu ada dan berpikir. Manusia harus terus berelaborasi tanpa kenal lelah dengan rasionya.

Akan tetapi, pembenaran simbolis agama sebagai wujud dari akumulasi pencerapan agama yang seadanya dan lantas meneguhkan tekad, mempertajam permusuhan, dan memistiskan motif perjuangan dan membela iman dan kebenaran ilusif, adalah kekeliruan sintesis dalam logika kesadaran.

Kebebasan individu dalam pencerapan dan pengimanan perlu didasari suatu kerangka berpikir filsafati agar setiap individu tidak gampang terjerembab dalam ketaatan dan kepercayaan buta yang mengarahkan individu pada fanatisme religius yang membabi buta.

Karl Jaspers dalam hal ini benar, relevan, dan aktual. Dalam dua buku yang penuliskan sebutkan tadi, ia secara panjang lebar memaparkan sebuah operasi dasar filosofis (philosophische Grundsoperation) yang berpilar kesadaran dan rasio.

Kesadaran (Bewusstsein) dan rasio (Vernunft) harus menjadi dasar tindakan manusia beriman. Kesadaran dan rasio membuka kemungkinan untuk berpikir secara komprehensif, termasuk di dalamnya kemungkinan untuk mengakui keterbatasan. Seseorang yang mengakui keterbatasan mengandaikan terbuka terhadap pemikiran yang berseberangan.

Kesadaran dan rasio membuka perspektif baru pada kepercayaan yang bermatra rasional dan bukan semata-mata gerakan masif dalam bingkai ketaatan buta. Kepercayaan membutuhkan argumentasi-argumentasi bagi kredibilitas karena ia bukan semata-mata gerakan hati yang buta.

Sebuah pemahaman kepercayaan yang tidak dibingkaikan dalam dua pilar tersebut acapkali melahirkan klaim-klaim kebenaran absolut yang beraspek destruktif. Orang dengan mudah terbawa dalam atmosfer masif yang tak terkendali. Orang yang demikian ini lantas mengira bahwa kebenaran itu tunggal. Padahal, kebenaran tunggal yang diyakini tersebut lahir dari situasi yang tidak mengizinkan adanya pertanyaan kritis.

Mereka yang terkungkung dalam koridor demikian ini selalu mengira bahwa pendapat mereka lah yang paling benar. Mereka ini pada praksisnya membentengi diri dengan tembok-tembok tinggi terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis. Kekerasan muncul dalam alur dan kerangka berpikir yang demikian ini.

Kekerasan adalah produk dari kemadegan cara berpikir rasional dan pengingkaran kesadaran sehingga orang-orang yang demikian ini mudah untuk digerakkan dan dimobilisasi. Mobilisasi demi kekerasan kian efektif dan menggairahkan tatkala simbol-simbol agama dijadikan sarana untuk memistiskan sebuah perjuangan.

Gerakan masif destruktif kian gampang meledak tatkala ada pemicu di tengah carut-marut dan krisis kepercayaan masif pada penegak hukum. Kemarahan masif serasa mendapat kanal dan oase dalam pengrusakan simbol-simbol terkait atau yang secara serampangan dikait-kaitkan. Semoga kesadaran dan jalan pikiran yang jernih di bumi yang multikulturalis ini kian dikedepankan.***

Opini  Gendhotwukir (Penyair dan Jurnalis)

 

Menguak Logika Kekerasan

Anda telah membaca artikel berjudul: "Menguak Logika Kekerasan Sentimen Agama" yang telah dipublikasikan oleh: Kanal WWW. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.

You May Also Like

About the Author: Kanal WWW

Berbagi informasi dan pengetahuan lewat Kanal World Wide Web

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *